REOG PONOROGO

ASSALAMU'ALLAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH SELAMAT DATANG REOG PONOROGO

Rabu, 13 Februari 2013

PRES




PostDateIconJune 19th, 2011
pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan mendapat tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor. Namun majalah Tempo adalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru melalui tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya Orde baru. Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada saat, terutama dalam dunia pers. Lalu apa fungsi dari dewan pers pada saat itu? Ternyata dewan pers hanyalah dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.
  1. Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang antu rezim Soeharto.
B.  Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Fungsi dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial . Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahuimenegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaanmengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benarmelakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umummemperjuangkan keadilan dan kebenaran Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya : (www.JurnalNasional.com)
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.


1.Pers rezim soeharto.
Membahas mengenai pers dalam konteks komunikasi politik pada pemerintahan Orde Baru tidak dapat dilepaskan akan kenangan pahit dan luka mendalam dalam sejarah demokrasi bangsa Indonesia, Demokrasi Pancasila. Orde Baru pada masa kepemimpinan Suharto memberikan pemandangan ideologi Demokrasi Pancasila, namun dalam kenyataannya jauh dari konsep-konsep dasar kerakyatan  yang selama beratus-ratus tahun sudah diketahui orang itu. Tulisan ini menelusuri bagaimana keadaan nyata pers pada saat itu dari pandangan dan materi-materi ulasan pelaksanaan ideologi Demokrasi Pancasila. Dimulai dari pemaparan singkat mengenai demokrasi di Indonesia, strategi politik Orde Baru, komunikasi politik Indonesia, dan kebebasan pers. Hal-hal di atas akan menggambarkan bagaimana kondisi nyata kehidupan pers Orde Baru.
Secara singkat dapat dikatakan, pers pada masa itu mendapatkan perlakuan yang semu, bias dan tak bernyawa, walaupun dalam payung hukum kebebasan bersuara, berekspresi, ratifikasi hukum internasional dan UU Pers yang mengizinkan adanya kebebasan pers. Banyak media massa cetak yang dibredel (dilarang terbit), seperti Kompas, Tempo,  Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lain-lain. Pemerintah memaksa pemilik media itu untuk menandatangani perjanjian untuk tidak mengkritik pemerintah dan bisnis keluarga kepala negara. Pers malah berfungsi sebagai instrumen pembangunan yang memelihara ketertiban, harmoni dan keamanan.
Pers yang bebas, yang berfungsi sebagai pengontrol pemerintah, watchdog, tidak serasi dalam ideologi Demokrasi Pancasila pada masa itu. Hingga menetapkan penilaian bahwa kondisi ini tidak ada bedanya pada masa pemerintahan Soekarno.
Komunikasi politik dan kehidupan demokrasi pada Orde Baru
Keberhasilan menghanguskan kekuatan komunisme dari Partai Komunis Indonesia (PKI), akhirnya membawa pada model pemerintahan baru yang bertekad melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam kepemimpinan Suharto, pemerintahan Orde Baru berintikan ABRI dan kaum teknokrat yang bersifat birokratis. Pada masa awal Orde Baru dengan cepat diambil langkah-langkah untuk memperbaiki keadaan ekonomi melalui pembangunan jangka panjang yang terencana atau yang lebih populer dengan sebutan Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
Namun dalam bidang politik, ternyata Orde Baru belum dapat dikatakan mengarah pada pembangunan Demokrasi Pancasila secara bertahap. Ia dilakukan melalui pendekatan stabil dinamis, yang berorientasi pada status quo dan mengisolasikan kehidupan politik dari pembangunan politik yang diperlukan dalam pembangunan nasional. Suharto juga memproduksi beberapa produk politiknya, seperti pelaksanaan pemilu secara reguler, kemudian diikuti oleh Sidang Umum MPR yang antara lain menetapkan GBHN, memilih dan menangkat presiden dan wakil presiden. Ada juga proses pemantapan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup dalam kegiatan penataran P4. Serta kekuasaan dominan oleh Partai Golongan Karya, juga adanya dwi fungsi ABRI.
Awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik. Namun tanpa disadari kebebasan itu membawa pada kondisi yang sebebas-bebasnya. Masyarakat dan pejabat pemerintah saling mencurigai dan cenderung berperilaku anarkis, saling memusuhi, pertentangan ideologi. Masyarakat menginginkan dalam kondisi terkotak-kotak dalam kerangka ideologi politik dan promordial yang sempit, hingga berpuncak pada Peristiwa Lima Belas Januari (Malari), 15 Januari 1974.
Kebebasan politik yang hampir tak terbatas dan tak terkendali, ditambah dengan makin terbukanya borok dari dalam pemerintahan sendiri. Seperti korupsi, keperpihakan politik, penyalagunaan kekuasaan dan lain-lain. Masalah-masalh semacam itu dikomunikasikan secara terbuka baik melalui pers, demonstrasi, seminar-seminar hingga perguncingan dalam masyarakat.
Sementara itu di pihak pemerintah menjadikannya “panas telinga”. Kondisi yang menjadi anarkis melalui demonstrasi mahasiswa dan pertarungan wacana yang cenderung emosional dan konfrontatif di media massa itu membuatnya merasa terancam.
Hingga peristiwa berdarah Malari membuat alasan kuat bagi pemerintah untuk meredam ketegangan itu melalui kebijakan-kebijakan yang preventif. Dimulailah dilakukan pembredelan sejumlah media massa cetak yang dianggap berperan penting dalam merangsang peningkatan suasana krisis politik.  Komunikasi politik mengalami pengendalian dalam rangka memelihara kestabilan nasional yang dibutuhkan untuk mensukseskan pembangunan.
Demokrasi dan kebebasan pers
Untuk menunjuk salah satu ciri dari demokrasi dan tidaknya sebuah pemerintahan, kehidupan media sering kali dijadikan parameter. Demokrasi mengandaikan kebebasan warga untuk berkumpul, berpendapat, dan mengemukakan kritik. Sebaliknya, pemerntahan yang antidemokrasi akan selalu mengawasi orang berkumpul, menekan pendapat, dan memberangus kritik. Cara yang konvensional adalah dengan mengatur dan mengarahkan pemberitaannya, menempatkan orang-orang nonpemerintah dalam jajaran redaksi dan kepemimpinan organisasi pers, dan bahkan merekayasa berita bohong. Di bawah pemerintahan yang otoriter, pers adalah makhluk yang paling tersiksa. Ia korban, sekaligus dengan terpaksa harus menjadi pelakunya sendiri. Demikian nasib pers di bawah pemerintahan otoriter, tak terkecuali pers di bawah Orde Baru.
Media massa selama Orde Baru jauh dari fungsinya sebagai pilar penegakan public sphere. Konsepsi korporatisme otoriter yang diterapkan Orde Baru, dengan  kecenderungan kuat ke arah pewadahtunggalan dan homogenisasi, telah menempatkan berbagai kawasan publik dalam posisi di hadapan penguasa  negara. Pers difungsikan sebagau aparatus ideologi negara, berpasangan dengan aparatus represif negara, seperti militer dan kelompok-kelompok political thugs.
Frans Magnis Suseno dalam bukunya: Mencari Sosok Demokratis, 1997, 60 memaparkan jaminan atas hak-hak dasar demokratis rakyat, yang merupakan satu bagian dari 5  gugus ciri hakiki negara demokratis menyebutkan:
  1. Hak untuk menyatakan pendapat serta untuk mengkiritik pemerintah baik secara lisan maupun tertulis; hak ini termasuk kebebasan pers.
  2. Hak untuk mencari informasi alternatif terhadap informasi yang disajikan oleh pemerintah.
  3. Hak berkumpul.
  4. Hak membentuk serikat, termasuk hak mendirikan partai politik dan hak berasosiasi.
Kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi dan basic human right, dijelaskan oleh Afan Gaffar dalam bukunya Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi.  Campur tangan birokrasi dalam pers juga dirasakan sangat besar. Hal ini dilihat dari adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Surat Izin Terbit serta pembredelan media cetak sama saat masa Orde Lama.
Secara normatif, hak masyarakat dalam proses berpendapat dijamin secara universal dalam naskah Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB, khususnya Pasal 19 dan konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik PBB Pasal 19 dan 20. Pasal 9 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas”.
Salah satu tonggak demokrasi adalah kebebasan pers. Pers yang bebas merupakan syarat yang hakiki adanya demokrasi. Pembredelan majalah Tempo, Editor dan DeTik pada Juni 1994 cukup menggambarkan kerapuhan kebebasan pers di Indonesia. Satu hal pasti ditetapkan penilaian standar, bahwa kebebasan pers memainkan peranan kunci dalam realisasi kenegaraan demokratis. Pers memberikan informasi serta segi-segi penilaian yang dibutuhkan masyarakat untuk membentuk pendapat bertanggung jawab terhadap pemerintah dan kehidupan politik.
Kebebasan pers menurut Ashadi Siregar dapat dilihat dari dua aras. Pertama, adalah kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi publik serta kebebasan warga menyatakan pendapat tentang masalah publik, dan kedua, adalah kebebasan media pers untuk mencari dan menyampaikan informasi publik. Ketika media pers berselingkuh dengan kekuasaan, maka kebebasan pers pun kehilangan jati dirinya.
Kebebasan pers yang bertanggung jawab — berlaku gelang karet
Dalam dunia pers pengendalian komunikasi politik yang bersifat gelang karet tersimpan dalam konsep kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sebagaimana antara lain terlihat dalam UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang kemudian ditambah atau diubah dengan  Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 tahun 1982, kebebasan pers yang bertanggung jawab itu tersimpul dalam, Bab II, yang berisi Pasal 2 sampai pasal 5, mengenai Tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers.
Dalam pasal 2 ayat 2 yang mengandung kewajiban pers nasional, antara lain terdapat kewajiban mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Di samping itu pers nasional juga berkewajiban memperjuangkan Amanat Penderitaan Rakyat berlandaskan Demokarasi Pancasila. Ia juga berkewajiban memperjuangkan  kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers. Dalam UU No. 4 tahun 1967, lima kewajiban pers yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 11 tahun 1966 tidak mengalami perubahan. Perubahan baru terjadi dalam UU No. 21 tahun 1982.
Pada Pasal 3 dalam UU No. 11 tahun 1966 berbunyi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif. Sedangkan dalam UU No. 21 tahun 1982 berubah menjadi: Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan kritik yang bersifat konstruktif. Hilangnya kata korektif dengan sendirinya mempersempit ruang gerak kebebasan pers.
Pasal 5 yang mengandung ketentuan mengenai kebebasan pers tidak mengalami perubahan. Ayat 2 dari pasal itu menyebutkan bahwa kebebasan pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan 3 undang-undang ini. Tanggung jawab nasional juga memiliki makna yang luas dan abstrak dan tidak jelas. Selain itu kata konstruktif sendiri tidak terletak pada pers sendiri, melainkan datang dari kalangan pemerintah yang berwenang. Jelas ini dirasakan juga mempersempit ruang gerak pers.
Sejak peristiwa Malari 1974, pemerintah Orde Baru serius dalam pelaksanaan konsep kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pemerintah dalam mengendalikan pers dan komunikasi politik juga sangat sungguh-sungguh ketika konsep kebebasan pers yang bertanggung jawab ini dilaksanakan untuk membentuk landasan hukum kalau ketika pers membahayakan kehidupan nasional. Seperti pada Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/Pen/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Jelas kehidupan pers pada Orde Baru yang bertanggung jawab itu tidak tetap. Sewaktu-waktu dapat mengkerut sempit tetapi tidak menutupnya sama sekali, kemudian ia dapat longgar lagi, tetapi kelonggaran itu bukan tanpa batas pula.
Membudayanya kehidupan pers yang bertanggung jawab berlaku gelang karet datang berkat peran Dewan Pers yang secara nonstruktural mendampingi pemerintah dalam membina hubungan dengan pers. Sehingga akhirnya sepi terlihat pada wajah media cetak Indonesia pada saat itu yang menimbulkan kritik pada pemerintah apalagi yang menimbulkan suasana emosional-kontradiktif pada tajuk rencananya. Pers semakin sensitif terhadap berbagai masalah dan selalu melakukan cek, ricek dan tripel-cek yang ketat.
Wartawan senior Joes Soemadipradja yang di era Orde Baru pernah bekerja di harian Kompas, dahulu keluar dari harian Kompas, dan mengundurkan diri atau keluar dari media terkemuka itu karena koran itu membuat perjanjian dengan Soeharto, bahwa Kompas tidak akan menyerang posisi Soeharto kala itu. Joes mengatakan bahwa jurnalisme Indonesia semasa Orde Baru telah tercemar dengan adanya perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pers selama 26 tahun dari 32 tahun Suharto berkuasa. Kebebasan pers dibuka oleh Soeharto mulai 68 sampai 74.
Ada perbedaan antara tiga presiden yang menerima warisan dari rejim yang bangkrut. Ketika Soeharto menerima pemerintahan yang bangkrut dari Soekarno ia melakukan pembersihan dengan melakukan penangkapan-penangkapan serta pembunuhan. Ia menggunakan uang Pertamina dan Bulog yang pada saat itu dipimpin oleh Tirtosudiro dan Ibnu Soetowo. Setelah keadaan sudah membaik, baru pada tahun 1968 Soeharto memberi kesempatan kepada koran-koran yang dibredel semasa Soekarno untuk terbit kembali. Di antaranya harian Nusantara, Indonesia Raya, Abadi, dan Pedoman. Hal tersebut dianggap oleh Joes sebagai sebuah kecerdikan Soeharto jika dibandingkan dengan Habibie dan Gus Dur.
Ketika Habibie menerima pemerintahan yang bangkrut dari Soeharto yang dilakukan oleh Habibie dengan pendidikan dari Eropa ialah membuka kebebasan pers dan demokrasi. Akibatnya, ketika Habibie mencari dana operasional untuk menjalankan pemerintahannnya, terbukalah kasus Bali gate. Di era Gus Dur pun yang percaya dengan kebebasan pers dan demokrasi terbongkarlah kasus Bulog-gate. Demikian pula dengan Brunei gate.
Bagi Joes, kasus-kasus itu menunjukan kelemahan dari demokrasi maupun kebebasan pers yang penuh resiko untuk Habibie maupun Gus Dur. Soeharto lebih cerdik dalam hal ini karena ia tidak membutuhkan kebebasan pers pada awal pemerintahannya. Menyinggung mengenai masalah perjanjian-perjanjian yang dibuat antara pers dan pemerintah di era Orde Baru, Joes mengatakan Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita dan lain-lainnya membuat perjanjian tahun 1978. Perjanjian tersebut dilakukan agar dapat terbit kembali setelah mengalami pembredelan selama satu bulan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tempo pada 1982. Setelah peristiwa lapangan Banteng. Mereka berjanji akan menaati ketentuan-ketentuan yang akan diatur oleh pemerintah dan tidak akan mengeritik hal-hal yang menyangkut bisnis kepala negara dan keluarga.
Dan inilah yang membuat posisi pers Indonesia semakin melemah. Perjanjian semacam ini tidak dilakukan oleh 11 surat kabar ketika peristiwa Malari tahun 1974. Sebelas suratkabar yang mengalami  pembredelan tidak pernah mengemis kepada Soeharto agar surat kabar tersebut dapat hidup kembali, seperti Kompas dan Tempo. Ke-11 koran-koran yang dibredel itu adalah Harian Indonesia Raya harian Nusantara harian Abadi harian KAMI, dan lain-lain.
UU No 11/1966, ayat 8, menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak mempublikasikan pers sesuai dengan esensi Demokrasi pancasila. Untuk hal ini tidak diperlukan SIT (surat izin terbit). Namun ayat 20 membuat pernyataan tersebut batal. Ayat 20 menyatakan bahwa selama masa transisi, kewajiban memiliki SIT tetap berlaku, sampai pemerintah dan DPR membuat aturan baru.
Hak mempublikasikan pers hanya dimiliki oleh warga negara yang memiliki SIT. Yang memberikan SIT adalah pemerintah. Dalam perspektif hak asasi manusia kenyataan ini dapat rancu. Ia memberi kesan seolah pemerintah, bukan alam, bukan Tuhan, yang menjadi sumber hak asasi. Keharusan memiliki SIT kemudian dihapus oleh UU No 21/1982. UU yang baru ini memperkenalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Dalam praktek, dibawah SIT ataupun SIUPP, sudah banyak terjadi penyetopan terbit media massa, yang dilakukan pihak eksekutif, tanpa melalui sidang pengadilan. Kesalahan pihak media dengan demikian tidak dibuktikan di pengadilan. Pihak media tidak diberikan hak untuk membela diri.
Seperti ini gambaran dan riwayat kedaulatan rakyat dalam format politik Orde Baru. Pernyataan ini bukanlah dari John Locke, filsuf barat itu, tapidari Mohamad Hatta, pemikir pribumi, salah seorang proklamator kemerdekaan RI. Ia menuliskan pandangan tersebut di berkala sepuluh harian Daulat Rakyat, 20 September 1931, lebih dari enam puluh tahun lalu. Benih kesadaran itu sudah dicoba di tanam di bumi pertiwi sejak lama rupanya
Saat itu, umumnya para aktivis demokrasi di era Orde Baru belum lahir. Kerja penganjur demokrasi seharusnya lebih ringan karena hanya mengulang apa yang sudah diserukan Hatta, dengan menggunakan kosa kata politik yang lebih baru. Spirit seruan Hatta itu muncul dalam terma yang berbeda kini, seperti: self-determination, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, partisipasi politik. Cara termudah untuk memahami Demokrasi Pancasila mungkin harus ditelusuri dari praktek politiknya. Agar terukur dan spesifik, konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat itu dibatasi pada persoalan sistem perwakilan, kebebasan berorganisasi dan kebebasan pers. Dari tiga variabel itu dapat dicek berbagai kebijakan resmi yang ada pada era Orde Baru.
Mungkinkah format politik ini dirubah? Bagi kita, Orde baru bukanlah sebuah format politik, apalagi generasi pemerintahan. Orde Baru adalah sebuah cita-cita dalam rangka, seperti apa yang tertulis di pembukaan UUD 45, mengantar rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.
Format politik dirancang sebagai strategi untuk mencapai cita-cita itu. Cita-cita dapat abadi, tapi format politik harus terus berubah menyesuaikan diri dengan zaman. Format politik yang efektif di satu zaman dapat mandul di zaman lain, bahkan justru jadi penghalang mencapai cita-cita. Mempertahankan sebuah format politik dengan segala konsekwensinya berarti merubah strategi menjadi cita-cita.
Format politik Orde Baru yang diuraikan di atas harus dianggap bersifat temporer belaka. Format itu pernah sangat efektif ketika menghadapi zaman yang penuh trauma dan luka politik, akibat pepecahan politik dan kerusakan ekonomi di tahun enam puluhan. Namun sekarang ini bukan lagi era enam puluhan. Zaman yang berbeda telah datang. Generasi baru telah lahir.
Dalam pembahasannya tentang pers, Lubis menyoroti tiga dilema yang meliputi dunia pers, yakni definisi pers Pancasila, mekanisme perizinan dalam industri pers, dan dilema sensor dalam pers. Tak pernah ada rumusan jelas tentang pers Pancasila, yang sejak Orde Baru istilahnya dipasarkan. Tentang pers Pancasila, para pejabat hanya menyebut bahwa pers jenis ini bukan pers liberal, juga bukan pers komunis. Maksudnya, ini mengacu pada tipologi kuno yang dilansir Fred Siebert dan kawan-kawan dengan empat teori pers. Pers Pancasila lalu dibayangkan sebagai pers bertanggung jawab secara sosial. Padahal bangunan pengertian atas empat teori pers ini pun bias dengan hegemoni Amerika pasca-Perang Dunia II. Sebuah buku penting menjelaskan dengan gamblang bagaimana bias hegemoni Amerika itu muncul dalam khasanah teori-teori komunikasi modern. Buku itu berjudul Science of Coercion: Psycological Warfare and Mass Communication Research 1945-1960 ditulis Christopher Simpson (1994).
Dalam praktik yang dijalankan muncul semacam panduan: mana yang boleh dan tidak boleh ditulis. Masalah antarsuku, agama, ras, dan antargolongan tabu untuk ditulis. Masalah bisnis keluarga Soeharto, tak boleh ditulis. Masalah gunting pita di mana-mana, boleh ditulis. Pesawat militer jatuh, tak boleh ditulis pada keesokan hari. Harus menunggu rilis resmi dari pihak markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Peristiwa kerusuhan baru bisa ditulis setelah ada pengumuman resmi-berikut jumlah korban-dari pemerintah. Lain dari itu, tak boleh ditulis.
Soal perizinan dalam pers juga merupakan kesalahan berpikir yang mendasar. Namun ini bisa dipahami sebagai bagian dari usaha menundukkan pers di masa Orde Baru. Undang-Undang Pers pertama tahun 1966 jelas menyebutkan: untuk mendirikan surat kabar tak perlu surat izin terbit (SIT), tapi dalam klausul peralihan, hal surat izin dimungkinkan. Lalu dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, tapi nyatanya sensor justru hadir sehari-hari.
Hukum pers tak memberikan perlindungan yang meyakinkan bagi pers itu sendiri. Justru membelenggu lantaran ketidakpastiannya itu. Belum lagi ketika konsep surat izin terbit berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dikatakan dalam undang-undang berikutnya (nomor 21 tahun 1982), tak ada pencabutan SIT, nyatanya ada pers yang tak bisa terbit lagi. Dalihnya berganti: SIUPP-nya yang dicabut, bukan SIT-nya. Begitulah logika kelas nol besar yang coba diterapkan Orde Baru pada persnya. Sayangnya, sebagian besar orang pers percaya, atau paling tidak dipaksa percaya.
Bagi Todung Mulya Lubis seluruh kisah tentang pers itu membuat gundah hati dan mengusik pikirannya. Mana mungkin pers yang diberi gelar the fourth estate diperlakukan bak anak ayam dalam kurungan? Pers menjadi kerdil akibat kekuasaan politik otoriter. Pers menjadi ciut dan tak berani memaparkan keadilan, apalagi keadilan untuk semua yang sering jadi idiom para pembela hak-hak asasi manusia.
Memang, dalam disertasinya Lubis tak menawarkan solusi. Dia hanya memaparkan dilema yang ada. Sebagaimana disebut Daniel S. Lev, dia menawarkan proposal perbaikan di masa mendatang. Dan Lubis tidak berjuang sendirian. Dia termasuk ada di barisan terdepan dalam membela pers. Ini dibuktikannya dengan mendampingi Tempo ketika menggugat ke peradilan tata usaha negara tahun 1994-1995. Juga saat mendampingi Time tahun 1999-2000. Di sinilah kiranya terletak penjelasan mengapa-buat saya-Todung Mulya Lubis membela Time sebagai bagian dari pencarian jawaban dari persoalan pribadi yang telah lama menggelisahkannya. Dia menunjukkan bahwa the truth will conquer. Dan sebaiknya janganlah dia sendiri yang mengatakan itu.
Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa manapun. Melalui media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan budaya masyarakat dimana media tersebut hadir. Cara pandang media dalam menyajikan realitas sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku  pada masanya. Hal ini dapat terlihat dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu realitas sosial.
Kata media tentu saja menyiratkan arti “mediasi” atau sebagai perantara karena keberadaanya di antara audiens dan dunia sekitarnya (lingkungan). Denis Mc Quail misalnya menyebutkan beberapa perumpamaan untuk menjelaskan gagasan tersebut.  Media, misalnya merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita, sebagai penterjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman baik langsung maupun secara simbolik , sebagai landasan atau pembawa informasi bagi para audiens dalam menentukan sikap, sebagai rambu-rambu yang yang memberikan instruksi dan arahan, penyaring bagian-bagian dari pengalaman, sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain, sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang yang merintangi kebenaran itu sendiri.  Selanjutnya  Joshua Meyrowitz menambahkan tiga lagi perumpamaan di mana media dipandang sebagai penghantar yang dapat mengajak kita ke dunia yang jauh dari jangkauan indrawi yang sangat terbatas dan media dapat dipandang sebagai bahasa yang memberikan makna pada kita serta sebagai lingkungan.
Jika kita menengok ke periode sejarah masa lalu. Di mana Orde Baru dan Orde Lama berkuasa, maka peran dan fungsi media yang kita ketahui, cenderung terkesan sebagai alat kekuasaan. Hasil liputan media massa tersebut lebih banyak melayani kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang berkuasa. Hampir tidak pernah kita melihat disana ada semacam kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini disebabkan kerena kehadiran lembaga media terutama media cetak hampir seluruhnya dilakukan oleh pihak swasta yang keberadaanya dikontrol dengan sangat ketat. Oleh karena itu untuk bisa beroperasi, hanya dimungkinkan dengan memperoleh perizinan yang cukup rumit. Dan izin ini sewaktu-waktu dapat saja dicabut apabila terlihat tanggung jawab mendukung kebijaksanaan penguasa tidak dilaksanakan atau isi pemberitaannya terkesan berseberangan dengan keinginan penguasa.
Kegiatan penerbitan dengan sendirinya merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan pihak penerbit (pengusaha). Dimana yang pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang berikutnya harus memberikan dukungan pada setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh penguasa. Selain itu juga pada masa tersebut pemegang kekuasaan memiliki hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaanya dalam pemberian izin. Tidak jarang hak untuk menyensor bahkan sekaligus membredel penerbitan media apabila dianggap menyebarkan berita yang terkesan merongrong wibawa pemerintah dengan segala macam alasannya.
Kehidupan pers pada waktu itu sangatlah memprihatinkan karena berada dalam pasungan. Lembaga media yang ada pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kreasinya dalam mengangkat suatu realitas, terlebih lagi melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Oleh karena tidak diberikan keleluasaan maka sistim pemerintahan berjalan menurut kemauan penguasa. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan semacam api dalam sekam di kalangan pemerintahan apalagi kalau salah satu pihak merasa kurang sepaham dengan kebijakan pimpinan tertinggi. Keadaan seperti ini tentunya merupakan konflik interen yang dalam skala tertentu dapat menyebabkan semacam ledakan apabila hal tersebut terakumulasi secara sistimatik. Tidak jarang kondisi seperti ini dapat menimbulkan satu revolusi berdarah seperti yang terlihat di beberapa negara, misalnya pengalaman di Uni Soviet dan beberapa negara yang menganut sistim otoriter. Dengan demikian yang namanya kebenaran hanya dimiliki oleh penguasa.
Dari berbagai literatur kita juga mengetahui bahwa kehadiran lembaga media di dunia manapun sangat erat kaitannya dengan sistim politik oleh negara di mana media itu hadir. Selain itu menurut  Fred S. Siebert terdapat paling tidak empat sistem pers di dunia ini. Antara lain Sistim Otoriter, Liberal, Tanggung jawab sosial dan Soviet komunis. Dalam  perkembangan terakhir Denis Mc Quail menyebutkan ada enam sistem yang berlaku, dengan menambahkan sistim media pembangunan dan media demokratik partisipan.
Seperti hal Indonesia pada masa itu, kita tidak menganut salah satu dari sistem tersebut. Namun, kita menganut sistim  Pers Pancasila, yang jika ditilik lebih jauh nampaknya merupakan kombinasi antara beberapa dari sistem yang ada.  Namun dalam prakteknya, sistem yang kita anut cenderung otoriter.
Terbelenggunya lembaga media dalam menyampaikan laporan tentang fakta sosial tidak lepas dari sistem pers yang kita anut. Oleh karena itu setiap hasil liputan sebelum dimuat biasanya melalui sensor yang ketat. Apa lagi jika hasil liputan tersebut  melibatkan kekuasaan negara, maka sudah pasti berdampak negatif terhadap kelangsungan kehidupan lembaga pers itu sendiri. Walaupun kita masih dapat melihat ada beberapa lembaga media cetak yang sampai saat ini masih dapat beroperasi namun sedikit munafik untuk dapat selamat dari sistim yang berlaku pada saat itu.
Belajar dari rezim Orde Lama dan Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia hanya bisa dinikmati saat pers sedang berbulan madu dengan kekuasaan. Bulan madu ini selalu terjadi di masa transisi pascapergantian rezim. Biasanya setelah rezim baru berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan, pers kembali diberangus, ditekan.
Rezim Soekarno saat awal kemerdekaan hingga zaman Demokrasi Parlementer bersifat amat akomodatif terhadap pers. Namun setelah kekuasaannya terkonsolidasi, September 1957, Soekarno berkolaborasi dengan militer membredel 10 surat kabar. Beberapa tahun kemudian, Februari 1965, 21 surat kabar di Jakarta dan Medan juga diberangus. Sebulan berikutnya, delapan media dan mingguan di berbagai kota juga dibungkam.
Perilaku sama ditunjukkan Orde Baru. Bulan madu pers dan kekuasaan berakhir saat Malari. Pasca Malari, rezim Orba membredel 12 media massa. Empat tahun kemudian, membredel tujuh koran dan tujuh media kampus. Puncaknya, Juni 1994, pemerintah memberangus Tempo, Editor, dan Detik.
Catatan sejarah itu menunjukkan, penguasa tak pernah benar-benar merelakan kebebasan pers. Solahudin, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen.
Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggungjawab; pers orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggungjawab.
Pers adalah universitas besar dengan masyarakat sebagai mahasiswanya.  Pers bertugas mengamati realitas sosial ekonomi dan menyampaikan gambaran realitas itu setepat mungkin kepada masyarakatnya.  Untuk Orde Reformasi, tugas pers tidak berhenti di situ. Pers bukan hanya pencatat, perekam, pengamat, peneliti realitas. Ia juga harus berperan-serta sebagai pengubah realitas. Ia harus menjadi agent of reform.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga  modus peran pers.  Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers. Konon, begitulah pers di negara-negara maju.  Lewat gonggongan media,  Clinton  harus menghadapi impeachment.  Sebelum ada pengadilan dari departemen kehakiman,  terlebih dahulu ada pengadilan pers, trial by the press.  Peran watch dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai tidak sesuai dengan Pers Pancasila.
Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai slave, budak pemerintah.  Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang equal.  Dalam hubungan yang supra- dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Apalagi Pedang Damocles siap memancung leher pers Indonesia, kapan saja dan karena apa saja.
Demokrasi harus menjadi ideologi pers pasca-Orde Baru. Tetapi, bukankah pers harus bebas dari ideologi? Tidak  ada satu pun pers di dunia ini yang tidak bias secara ideologis.
Ideologi adalah masalah pemihakan.  Banyak sosiolog dan pakar komunikasi melihat distorsi yang terus-menerus dalam pemberitaan. Jamieson dan Campbell, dalam The Interplay of Influence, melaporkan penelitian para ilmuwan kemasyarakatan tentang pers, “Mereka tidak berpendapat bahwa ada konspirasi atau kesengajaan untuk mendistorsi pemberitaan dan peliputan. Merka berpendapat bahwa secara tidak disadari, peliputan pers bermuatan ideologis. Pers selalu memihak kepentingan kelompok dan tertentu dengan mengabaikan kepentingan kelompok yang lain. Pers menyembunyikan hubungan timbal-balik antara pers dengan sektor publik dan swasta, atau dalam kata-kata Tom Wicker. Kolumnis New York Times: Jurnalisme objektif selalu memihak posisi  Establishment (Jalaluddin Rakhmat; Pers Indonesia Pasca-Orde Baru: Mencari  Sosok Pers Reformis   http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/edisihaji/perspascaorba.htm).
Selama Orde Baru, Departemen Penerangan pada akhirnya mempunyai fungsi utama untuk melakukan kontrol terhadap pers. Karena itu bila Departemen Penerangan dihidupkan kembali, institusi ini akan menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers sehingga eksistensinya akan melawan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Undang-Undang Pokok Pers No 21/1982 yang berlaku pada zaman Orde Baru, kata Solahudin, jelas menyatakan larangan pembredelan terhadap pers. Akan tetapi, kenyataannya ketentuan itu dihilangkan substansinya dengan Peraturan Menteri Penerangan No 1/ 1984 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). “Bila Deppen dihidupkan lagi, kejadian seperti ini akan berulang,” kata Solahudin (Presiden Megawati Harus Pertahankan Kebebasan Pers; Kompas).
Astrid Susanto, ia sendiri pernah jadi anggota Dewan Pers pada era rezim Orde Baru dekade 1970-an, minta tanggung jawab pers dalam melakukan pendidikan pada masyarakat, baik langsung maupun tak langsung. “Karena pers berada di ruang publik berarti pers harus bertanggung jawab pada publik.”
“Kalau dulu tanggung jawab yang besar tak diikuti dengan kebebasan yang besar, sekarang kebebasannya besar tapi tanggung jawabnya tak dipenuhi,” kata Susanto, mengacu pada zaman pers di bawah sensor Orde Baru (TAUFIK ANDRIE; Media Kepala Batu;   http://www.pantau.or.id/txt/25/02.html).
Benarkah terjadi press euphoria di Indonesia sekarang? Kenalan penulis itu pernah melakukan penelitian analisis isi pers Indonesia ketika berlangsung kampanye pemilu dan pemilu terakhir zaman rezim Orde Baru dan ketika banyak terjadi kerusuhan massal. Menurut dia, pers Indonesia waktu itu memang masih dipenuhi rasa takut (terrified) karena ancaman pembredelan. Lebih lagi TV, katanya, terlalu didominasi pemerintah. TV tidak banyak menayangkan kerusuhan. Pers juga selalu harus mendasarkan berita-berita politik pada sumber resmi. Tetapi ditambahkannya sudah banyak penulis yang vokal (outspoken) asal tak langsung mengritik militer dan Presiden Soeharto sekeluarga. Waktu itu ia meramalkan, akan terjadi perubahan besar dalam sistem komunikasi politik di Indonesia akibat masuknya jaringan internet global (cyberspace) yang elusive (sukar dijangkau oleh kekuasaan dan hukum Indonesia).
Mengapa para pengamat asing menilai seakan-akan ada euforia kebebasan informasi di Indonesia saat ini? Karena selama puluhan tahun media massa nasional terus-menerus “tiarap”. Sekarang sistem komunikasi otoriter sudah berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa dengan dukungan media massa terutama media cetak. Kekuasaan absolut rezim Orde Baru ibarat sebuah bendungan raksasa yang tiba-tiba bobol oleh terjangan banjir besar. Maka meluaplah air yang selama ini terbendung.
Ihwal yang jelas adalah, tuntutan reformasi total membuat pers merasa pantas menjadi pelaksana reformasi (agent of reform). Sebagai salah satu pelaksana reformasi, pers juga pantas berperan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate). Implementasinya adalah anjing penyalak (watchdog) terhadap jalannya pemerintahan, pelaksanaan demokrasi, penegakan hukum dan HAM. Dasar hukumnya ada, yakni pasal 3 UU Pers yang masih berlaku, tentang hak kontrol, kritik dan koreksi (juga ada dalam RUU Pers yang baru).
Di zaman rezim Orde Baru, fungsi tersebut tidak dapat terlaksana karena adanya ketentuan perundang-undangan lain (pasal lain) dalam UU Pers dan kebijaksanaan (media policy) yang mematikannya, yakni pembatalan SIUPP atau pembredelan. Di zaman lampau itu, kebebasan pers (kebebasan komunikasi) sebagai salah satu HAM yang universal tidak terwujud karena dihambat oleh tanggung jawab pers kepada keamanan dan stabilitas kekuasaan.
Hingga kini pengaruh zaman rezim otoriter Orde Baru itu masih sangat terasa di bidang pers. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih seringnya terjadi tindakan kekerasan terhadap wartawan oleh aparat keamanan dan oleh warga masyarakat. Kekerasan terhadap wartawan dan mahasiswa yang melakukan aksi damai mempunyai akibat yang berat. Di samping merupakan kejahatan (penganiayaan), juga menghambat terlaksananya reformasi dan melanggar HAM karena kebebasan berkomunikasi adalah HAM. Mujurlah, RUU Pers yang baru memberi wartawan akses yang luas (qualified privilege) kepada sumber-sumber informasi . Tindakan dalam bentuk apa pun yang bersifat menghalangi akses tersebut, apa lagi dengan kekerasan, pelakunya dihukum berat. Ketentuan baru tersebut memungkinkan pers merasa aman dalam memberitakan dan mengulas pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.
Selama masa rezim Orde Baru dalam pengamatan, pers tidak mampu mengangkat konflik yang terjadi di masyarakat sesuai realitas sosiologi. Ini terjadi karena pers selama ini dikooptasi oleh penguasa. Akhirnya pers pun gagal sebagai sistem peringatan dini terhadap sistem yang ada (Pers Partisan, Lahan Hidup atau Perjuangan?   http://aliansi.hypermart.net/1999/09/serba.htm)
Kebebasan dalam mendapat informasi dan kebebasan menyampaikan pendapat menjadi salah satu aspek yang dirasakan sangat penting dan menjadi hal yang paling dasar dalam rangka mewujudkan civil society, karena kita semua menyadari benar bahwa tanpa adanya jaminan kebebasan dalam memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tidak akan pernah dicapai civil society dengan kadar sekecil apapun.
Informasi yang menjadi salah satu kunci proses menuju civil society bukanlah hal yang istimewa atau mewah sebenarnya, jika tidak ada mekanisme atau instrumen yang dijadikan suatu justifikasi oleh pemerintah dalam menjerat lawan lawan politiknya atau pihak pihak yang diangap membahayakan kekuasaan dari phak yang sedang berkuasa, seperti yang terjadi selama rezim orde baru berkuasa. Kita melihat begitu hebatnya management kontrol informasi yang dijalankan oleh rezim Orde Baru dalam membungkam semua pergerakan demi mempertahankan kekuasaan, jelas adanya fakta bahwa informasi dapat memberikan kontrol yang luar biasa besarnya dalam segala aspek (Ferry Kurniawan Sinergi Pers, Media dan Gerakan LSM menuju Civil Society   http://www.lsm.or.id/workshop/sinergi.html; Yayasan  Pakta).
Pemerintah Orde baru melalui Departemen Penerangan yang dipimpin oleh Harmoko banyak memainkan teknik-teknik propaganda akan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada khalayak pada masa itu. Salah satunya adalah sistem komunikasi sambung rasa yang menekankan pada pentingnya usaha penerbitan pemerintah guna lebih terperinci dalam mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah, di samping berita-berita yang disampaikan oleh   massa lainnya. Melalui penerbitan pemerintah diharapkan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam usaha percepatan pembangunan nasional. Dan masyarakat lebih tahu banyak tentang kebijaksanaan, langkah-langkah maupun tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan (Harmoko; Komunikasi Sambung Rasa dalam Pembangunan Nasional, Kumpulan Pidato, Sambutan, Pengarahan dan Ceramah Menteri Penerangan RI 1984; Deppen RI; 1985).
Kebebasan pers yang bertanggung jawab
Ini adalah salah satu teori yang disusun Siebert dalam memetakan kehidupan pers di dunia. Teori Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab ini pulalah yang dipakai pada masa Orde Baru untuk mengontrol pers nasional. Sedikit membandingkan dengan pers di Amerika Serikat, Komisi Kebebasan Pers (Commision on Freedom of the Press) menguraikan tanggung jawab pers antara lain:
  1. Pers harus memberi laporan peristiwa sehari-hari secara jujur, luas, dan cermat dalam konteks yang memberi arti terhadap kejadian itu.
  2. Pers harus menjadi forum pertukaran komentar dan kritik.
  3. Pers harus menonjolkan keadaan yang tepat mengenai kelompok-kelompok yang penting dalam masyarakat.
  4. Pers harus bertanggung jawab terhadap penyajian dan penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
  5. Pers harus memberikan akses penuh pada pengetahuan mutakhir.
Teori tanggung jawab sosial pers (the social responsibility theory) berasumsi bahwa kebebasan terdapat tanggung jawab. Di bawah teori ini pers berfungsi:
  1. Melayani sistem politik dengan menyajikan informasi, diskusi, dan debat tentang masalah umum.
  2. Memberi penerangan kepada masyrakat agar dapat melaksanakan self-government.
  3. Menjaga hak individu dengan menjadi pengawas pemerintah.
  4. Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang dan jasa melalui periklanan.
  5. Memberi hiburan
  6. Mengelola swasembada keuangannya agar bebas dari tekanan tertentu.
Menurut Wishnu Basuki dalam bukunya: Pers dan Penguasa – Pembocoran Pentagon Papers dan Pengungkapan oleh New York Times, pers Indonesia masih mengesankan sifat primordial yang relatif bertahan. Pers di Indonesia masih bersifat sektarian atau terkotak-kotak. Keadaan ini menjauhkan mereka dari kebulatan prinsip dalam memperjuangkan konsep bersama seperti kebebasan informasi dan hak mengetahui.
Sistem politik kita belum siap menghadapi keterbukaan sepenuhnya. Maksudnya, penyebaran informasi yang bebas dan kebebasan pers itu sendiri bekum menjamin baik secara yudisial atau politis sehingga menjadikan tanggung jawab pers kita sepihak di mana lebih bertanggung jawab kepada pemerintah.
Pers Indonesia juga masih disibukkan dengan urusan kebebasan berbicara dan pers sendiri yang masih beum mantap terutama mengenai masalah keberadaan SIUPP yang dirasa menjadi penghalang kebebasannya. Akibatnya pers lebih terpesona dengan perjuangan melawan SIUPP daripada menuju kebebasan pers itu sendiri. Dengan keberadaan SIUPP itu pemerintah bisa mencabutnya sewaktu-waktu, sehingga tanggung jawab pers itu dicurigai bisa terwujud karena ketakutannya terhadap SIUPP.
Untuk melek terhadap hal mengetahui dan kebebasan informasi memang memerlukan syarat tertentu, antara lain:
  1. Adanya kemauan warga negara yang tinggi untuk mengetahui lebih jauh tentang dirinya dan lingkungannya berkenaan dengan urusan, interaksi, dan keinginan umpan balik dalam kehidupan umpan balik dalam kehidupan sosial dan politik.
  2. Warga negara memahami bahwa pemerintah adalah bagian dari rakyat, bukan sebaliknya, jadi informasi pemerintah merupakan informasi rakyat.
  3. Warga negara mengembangkan pengertian bahwa kebebasan ekspresi hanya bentuk komunikasi satu arah yang ahrus dilengkapi dengan kebebasan informasio yang merupakan bentuk komunikasi dua arah.
  4. Bila keadaan nasional dalam kegagalan dan kemelut dimana rakyat akan mudah mencurigai pemerintah dan meminta keterangan terbuka.

Telaah undang-undang
Dalam tulisan ini perlu juga menelaah ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru kepada pers nasional. Dengan demikian pemikiran politik pembuat, pelaksana dan pengawas kebijakan terhadap pers dapat dilihat secara komprehensif.
Dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No: 01/PER/MENPEN/1969 tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Perusahaan Pers, khususnya dalam Pasal 5 dinyatakan: “Perusahaan Pers diwajibkan menjadi anggota Organisasi Pers yang telah disyahkan oleh Pemerintah.” Dalam hal ini, terkesan pemerintah ingin menyatukan wadah keorganisasian wartawan pada saat itu, agar pemikiran ideologis yang didengungkan pemerintah tidak terpecah menjadi idelogi lain yang bernilai merongrong pemerintah yang syah. Dalam organisasi itu pula dipatrikan satu ideologi pers, yakni Pers Pancasila, tak ada yang lain. Pada masa itu organisasi pers hanya satu yang dibentuk oleh pemerintah yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Juga terlihat perusahaan pers masa itu dipolitisir oleh pemikiran dan kebijakan pemerintah untuk melawan paham komunisme. Maklum waktu itu Soeharto sedang genca-gencarnya membasmi oknum-oknum PKI pasca pemberontakannya pada 30 September 1965. Dalam bab II tentang Syarat-syarat Tentang Pimpinan Penerbitan Pers pada pasal 6, masih pada Peraturan yang sama, dijelaskan: “Yang dapat memegang sesuatu penerbitan pers, baik pimpinan umum, pimpinan redaksi ataupun pimpinan perusahaan, sebagai dimaksud dalam ayat (1) di atas adalah orang-orang yang tidak tersangkut dalam G30S/PKI dan aksi-aksi kontra revolusi lainnya. Lihat juga “…dan aksi-aksi kontra revolusi lainnya…” Di sini benar-benar ditekankan tidak diizinkan memuat pemikiran, berita ataupun suara-suara yang berlawanan dengan pemerintah ataupun yang berkehendak melawan kebijakan pemeritah dalam media massa. Sebab Suharto sedang menghapuskan pemikiran dan gerakan-gerakan Komunisme/Marxisme-Leninisme yang notabene adalah landasan idiil PKI dan pemikiran Sukarno sebagai “lawan politiknya.” Tentang ini lihat pada Peraturan Menteri Penerangan RI No. 03/PER/MENPEN/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam Masa Peralihan Bagi Penerbitan Pers yang Bersifat Umum, pada bab III Tentang Pencabutan Surat Izin Terbit, poin a.
Dan terkesan otoriter, walaupun larangan bahwa barang-barang cetakan semacam buletin, surat kabar, majalah dan lain-lain dalam UU No. 11 tahun 1966 telah dihapus.
Hal yang patut disorot di sini adalah pada bab II tentang Syarat-syarat Tentang Pimpinan Penerbitan Pers. Bab ini terlalu ketat mengatur perusahaan pers hingga pada pengaturan struktural pengurusnya, yakni pada pimpinan umum (pemimpin umum-pen.), pimpinan redaksi (pemimpin redaksi-pen.) ataupun pimpinan perusahaan (pemimpin perusahaan-pen.). Belum lagi pada masalah pemindahan tanggung jawab tulisan kepada pemimpin redaksi dan penulis diatur dalam pasal 4. Ini juga peraturan yang terlalu ketat dan membatasi.

Kesimpulan
Demokratis tidaknya sebuah bangsa dapat dilihat dari kehidupan persnya. Khusus pada negara berkembang seperti Indonesia pada masa Orde Baru, perbaikan dan pembangunan pada berbagai bidang sedang digalakkkan, khususnya di bidang kehidupan ekonomi. Namun titik berat pembangunan politik kurang begitu “diperhatikan”, walaupun muncul ideologis Pancasila yang dikomunikasikan secara intens kepada khalayak melalui berbagai media, khususnya media cetak.
Pada awal pemerintahan Orde Baru kebebasan politik dan kebebasan bersuara, kebebasan pers dan kebebasan berkspresi dijunjung tinggi. Namun selang beberapa tahun, tampaknya kebebasan itu terhitung kebablasan dan bagi Suharto saat itu terlalu bebas dan mampu memunculkan merendahkan dan mengancam pemerintahannya, tentu dengan alih-alih mengancam ideologi Demokrasi Pancasila. Maka dimunculkanlah bentuk pemerintahan Suharto yang sentralistis, otoriter, militeristik dan bertangan besi. Secara lembut dan halus ini masuk ke dalam pemikiran pejabat  pada saat itu. Masyrakat termasuk pers ikut terbius.
Namun ideologi Pancasila yang diterapkan pada pers pada masa itu bukanlah demokrasi pada konsep sebenarnya. Demokrasi lewat peraturan-peraturan pada pada masa itu memang mengizinkan adanya pers bebas yang bertanggung jawab secara sosial baik kepada masyrakat dan pemerintah, pers juga memiliki hak untuk tidak dibredel penerbitannya.
Namun demikian akibatnya pers diperalat sebagai corong pemerintah untuk mengkomunikasikan kebijakan-kebijakannya. Pers ini secara ketat dikontrol oleh peraturan pokok pers, Surat Izin Penerbitan, SIUPP. Ditambah lagi izin dan pengawasan oleh pihak militer. Pers pun terkesan lebih bertanggung jawab kepada pemerintah daripada dengan pemerintah. Isi surar kabar dan bentuk media massa lainnya tidak boleh ada yang menentan kebijakan pemerintah, ada perlakukan embargo, berita-berita press release lebih banyak mewarnai media cetak masa itu ketimbang usaha-usaha pers sendiri. Bila ketentuan itu dilarang muncul tekanan-tekanan yang umumnya bersifat politis dan ekonomi, seperti pencabutan SIT dan SIUPP.  Pers dinilai tidak memiliki kekuatan bulat mengembalikan kebebasan pers dalam konteks demokrasi yang sebenarnya.
Namun akhirnya untuk memilih koridor yang paling baik bagi kehidupan pers pada masa yang akan datang adalah tetap dalam konteks Demokrasi Pancasila, di mana pers itu lebih bertanggungjawab kepada masyarakat sebagai pembacanya. Dan hal ini harus jelas dan tegas ditekankan pada konsep demokrasi itu dan tentu saja dalam peraturan pokok dan organisasi pers dan kewartawanan nasional.
2. Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.
Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".
Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!
http://semanggipeduli.com/gambar/copyright.gif
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Enam mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, tewas terkena peluru tajam yang ditembakkan aparat keamanan sewaktu terjadi aksi keprihatinan ribuan mahasiswa yang berlangsung di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, Selasa (12/5). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada. Keenam mahasiswa itu tertembak sewaktu berada di dalam kampus oleh berondongan peluru yang diduga ditembakkan oleh aparat yang berada di jalan layang Grogol (Grogol fly over).
Puluhan mahasiswa lainnya menderita luka-luka berat dan ringan.Nama para korban adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 95) luka tembak di punggung, Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 96) luka tembak di pinggang, Vero (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), dan Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95) luka tembak di kepala.
13 Tahun Reformasi Berlalu, Kasus Trisakti Belum Tuntas
Tiga belas tahun sudah peristiwa Trisakti berlalu. Bangsa Indonesia, tentu takkan melupakan peristiwa kelam itu. Empat mahasiswa tewas terkena tembakan.
Ya, pada Kamis (12/5) kemarin, memperingati peristiwa berdarah itu, para mahasiswa Trisakti Jakarta, bersama keluarga keempat mahasiswa yang menjadi korban, melakukan tabur bunga. Mereka minta Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo, yang saat peristiwa itu menjabat Kapolres Jakarta Barat, juga tak melupakan peristiwa ini.
Diiringi lagu Gugur Bunga puluhan mahasiswa Universitas Trisakti Kamis pagi melakukan napak tilas mengenang tragedi Trisakti yang menewaskan 4 mahasiswa Trisakti tahun 1998 dilingkungan kampus Trisakti di Jalan S Parman Grogol, Jakarta Barat. Mereka mengusung foto keempat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban tragedi 1998 yaitu Elang Surya Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie dan Herry Hartanto.
“Jangan sampai jadi bangsa pelupa, bangsa amnesia. Masa lalu harus diselesaikan untuk membangun masa depan dan perubahan,” kata Presiden Mahasiswa STP Trisakti, Martani, dalam orasinya di sela-sela demo di depan Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (12/5).Dalam aksinya, mereka membawa 5 keranda hitam sebagai simbol kematian mahasiswa dalam proses suksesi nasional 13 tahun lalu. Mereka juga membentangkan spanduk besar bertuliskan ‘Usut Tuntas Tragedi Trisakti’.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyatakan pihaknya telah menyerahkan laporan penyelidikan kasus itu sejak 6 Januari 2005 kepada Kejaksaan Agung. Namun, selama enam tahun itu, baik korban maupun keluarga korban tidak mendapatkan titik terang penyelesaian kasus itu.
“Kami ingin ingatkan kembali tanggung jawab pemerintah atas kasus ini. Sudah enam tahun itu diajukan dan sudah 13 tahun juga para korban dan keluarga menunggu. Enam tahun bukan berarti tidak ada komunikasi Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Kemandekan kasus ini sudah pernah difasilitasi oleh Komisi III DPR antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, tapi fasilitas dialog, tidak menghasilkan satu kemajuan yang berarti,” tutur Ifdal Khasim di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.      
Pukul 11.00 – 13.00: Aksi Damai ribuan mahasiswa di dalam kampus.
Pukul 13.00 : Mahasiswa ke luar ke Jalan S Parman dan hendak menuju ke DPR.
Pukul 13.15 : Dicapai kesepakatan antara petugas dan mahasiswa, bahwa mahasiswa tidak boleh melanjutkan perjalanan. Tawaran petugas diterima baik. Mahasiswa melanjutkan aksi di depan bekas Kantor Wali Kota Jakbar.
Pukul 13.30-17.00 : Aksi Damai Mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa.
Pukul 16.30: Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
Pukul 17.00: Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
Pukul 17.15: Tiba-tiba ada tembakan dari arah belakang barisan mahasiswa. Mahasiswa lari menyelamatkan diri ke dalam gedung-gedung di kampus. Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
Pukul 17.15-23.00: Situasi di kampus tegang. Para korban dirawat di beberapa tempat. Enam mahasiswa Trisakti tewas. Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
13 Mei 1998 :
Pukul 01.30: Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Usakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas, HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto. (ama/cc)


0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

SILAHKAN MAINKAN

NARUTO

REOG PONOROGO

REOG PONOROGO

REOG PONOROGO

REOG PONOROGO